Rabu, 22 Februari 2012

ACUH

“Kesuksesan tidak ada yang instan, begitupun dengan kegagalan. Semakin lama bersikap acuh dengan situasi seperti ini, hanya akan mempersilahkan kegagalan untuk menemukan bentuk terbaiknya.” Potongan kalimat tersebut mengutip sebuah postingan di Signora 1987. 

dan mengamini potongan tersebut, hari ini sepertinya adalah perwujudtan awal akibat sikap acuh terhadap keadaan diri sendiri.
Hari ini, akhir-akhir ini, beberapa waktu ini, belakangan ini,

Jumat, 17 Februari 2012

K vs K (part 2)


di undangan tertera jam 18.30 acara dimulai, dan baru 18.48  bisa keluar dari  ruangan kerja, fyuuh.
Kantor-Kost-Djakarta Theater (+ macet - mandi )= 19.41 di studio 3,
Bersyukur walaupun acara sudah dimulai tetapi film belum diputar, masih ada sambutan dan prakata dari para aktor+aktris+tokoh behind the scene. Saya masuk studio ketika Teten selesai memberi sambutan dilanjut Nico dan para aktris new comers, hehehehehe sayang cuma denger suaranya dari pengeras suara karena saya di studio 3, dan deng.. deng... deng.........


K vs K part 1.


K vs K part 2.


Jreeeng..Jreeengh........ jreeengg ..... Revalina S. Temat keluar dari kamarnya, kabur dari rumah menyambut sang kekasih (Nicolas Saputra) yang telah datang menjemput,
Romantika kawula muda (serasi) di jalanan Ibukota, ...sreeettt ...... motor pun berhenti didepan bangunan tua, terpampang di atas pintu tulisan besar "KUA".
Singkat cerita Nico yang barusan masuk ke KUA bercerita ke Reva mau memakai jasa calo KUA, karena ternyata perlu kartu keluarga buat nikah, dan mereka gag bawa itu, daripada rencana kawin lari mereka gagal.
Kamu adalah cerminan rumahmu. mungkin kalimat tersebut adalah pokok ide dari film ini,
Bagi Reva segala hal yang besar dimulai dari yang sepele (cilik).
Nico yang tetep kekeuh bahwa menggunakan calo adalah hal sepele yang lumrah dilakukan oleh orang lain, jadi mengapa harus dipusingkan untuk mempersulit proses pernikahan mereka.
Tetapi bagi Reva, pelajaran masa lalu telah membentuk karakter nya, pendapatnya gag kalah kekeuh korupsi yang besar diawali dari yang kecil-kecil,

Kepribadian Reva yang tak mau kompromi dengan korupsi dibentuk karena memori sentimentilnya waktu masih SD.
Cerita bermula ketika suatu saat, Ayahnya yang berperan sebagai pengambil keputusan untuk penetapan guru tetap di sekolah, menolak pengangkatan salah satu guru (TIDAK TETAP) favorit SD nya (Agus Ringgo). Dan Reva tau tindakan ayahnya tersebut karena motif uang, dimana tidak ada uang "titipan" dalam berkas pengajuan pengangkatan Bapak Guru Agus.

Cerita pun berlanjut dengan zooming pada kehidupan keseharian Bapak Ringgo yang begitu sederhana. Desakan istrinya untuk memberi uang kepada pejabat yang berwenang ia tolak dengan halus.
Baginya pengabdian dalam mengajar tidak berkorelasi dengan sogok menyogok,
Mendidik generasi bangsa bukan hanya sebatas pada bidang akademis formal saja #menurut saya,
Pekerjaan mendidik dalam dunia pendidikan memegang tanggung jawab moral yang besar,
Paling tidak hal tersebut yang saya baca dari lakon pak Guru Ringgo.
Ketika statusnya yang gagal dipermanenkan dan tidak mampu lagi mengajar secara sah di SD Reva, pengabdian pak Ringgo untuk terus mendidik "mantan" murid-muridnya tak berhenti disitu.
Walau terkesan sangat utopis tetapi keputusan pak Ringgo menjadi badut penghibur yang mangkal di dekat SD adalah suatu wujud determinasi nyata dalam menjalani panggilan hidup.

Dikisahkan sang mantan guru yang sekarang menjadi badut berusaha terus berkomunikasi dengan murid-muridnya dan selalu memberikan tambahan pengetahuan setelah jam sekolah anak-anak didiknya dengan bercerita tentang banyak hal. Ya bercerita (mendongeng), mungkin cara ini adalah cara yang efektif untuk membagi pengetahuan kepada anak-anak, dengan memberikan cerita-cerita yang mengandung unsur positif.
Dan diakhir salah satu cerita yang disampaikan pak Ringgo, ada satu pesan yang selalu diingat Reva, Kamu adalah cerminan rumahmu, apa yang kamu lakukan adalah cerminan apa yang telah diajarkan dan hasil didikan orang rumah, atau kata lainnya tingkah laku kita adalah kondisi keluarga kita.

Secara paralel ditampilkan masih adanya argumen antara Nico dan Reva untuk iya atau tidaknya memakai jasa calo KUA, dengan sesekali mengambil gambar akhir kisah hidup si Badut pendidik.

So..... bla .. bla ... bla,,

dan Sekuel ini pun diakhiri dengan meluluhnya Nico atas pendirian atos Reva,
dan diputuskan berdua rujukan untuk tidak mengesahkan kawin lari mereka dengan jalan CALO KUA.


.......................................................................

AKU PADAMU,
ini bukan judul lagu ST 12, juga bukan effect demam cinta akhir-akhir ini, ini hashtag untuk chapter ke 2 film K vs K,
melihat pemeran dan isi ceritanya yang ringan (tapi sangat berbobot pesannya), mungkin chapter ini yang sangat digandrungi kawula angkatan gua,
Bukan karena ada Reva, Nico + Ringgo disitu, juga bukan karena kebetulan ada sentimentil pribadi jika melihat isi cerita ini, saya rela memberi nilai 8 untuk chapter ini.

Sebuah kritik yang menggelitik tentang urusan sogok menyogok dan percaloan,
Cerita yang menampilkan proses pengangkatan pegawai (dalam hal ini guru, bagaimana dengan profesi lain?) yang masih perlu pelicin, sampai calo untuk urusan nikah (menjalankan perintah Tuhan saja ada proses percaloan juga),

Sebuah potret usang (semoga) tentang keadaan negri kita, para profesional diangkat bukan karena kualitas profesinya tetapi dari kuantitas yang ia miliki untuk mendapat profesi tersebut, wkwkwkwk,,
Contoh yang ditampilkan baru dari seorang Guru yang berperan sebagai pendidik (mendidik dengan contoh), bagaimana jika dokter? yang berperan sebagai pemulih kesehatan (kalau menjadi dokternya saja sudah melalui "proses" tidak sehat, apakah ia mampu memberikan sebuah kesehatan), atau bagaimana dengan contoh profesi lainya????, apakah mereka yang rela merogoh kocek lebih untuk dipindahkan ke kocek orang lain demi menduduki suatu profesi, output dari profesionalisme mereka dapat dipertanggungjawabkan????

Semoga Cerita film diatas hanyalah gambaran masa lalu dari Indonesia,
Tanpa bermaksud tutup mata, Aku Padamu adalah cerita lama yang mengambil setting era romantika janji Joni, (semoga) wkwkwkwkwkwkwkwk



Rabu, 01 Februari 2012

Bookmarks

.........................................................................................


"Sekarang aku mengerti mengapa hidupmu begitu tidak berbahagia, Nak. kesalahanmu sendiri, tingkahmu sendiri, didikan Belanda sudah lupakan asal. Kau tidak senang dalam pakaianmu itu, Kau tidak senang pada Ibumu karena dia bukan Belanda."


"Kau tidak senang air yang kau minum dan nasi yang kau makan."


"Barangkali kau pun tidak suka pada kelahiranmu sendiri?"


"Asal kau tahu, itu kau yang kuhadapi sekarang. Sekarang ini. Asal kau tahu, itu yang membikin kau jadi anakku yang sengsara seperti ini. Ah anakku, kan sudah berkali-kali kukatakan: belajarlah berterima kasih, belajarlah bersyukur, anakku. Kau, kau, berlatihlah mulai sekarang, Nak, berterimakasihlah, bersyukur pada segala apa yang ada padamu, yang kau dapatkan dan kau dapat berikan. Impian takkan habis-habisnya. Belajarlah berterima kasih, bersyukur, sedang kiamat masih jauh."


"Kalau kau sudah mendengar semua kataku, bangunlah. kalau tidak, tetaplah bersujud di bawah kakiku, biar aku ulangi." Bangunlah


"Engkau sudah mulai berkumis....."
.................................................................

"Seorang ibu selalu mengampuni anaknya, biarpun anak itu seperti kau, yang baru pandai membangun kesengsaraan untuk dirinya sendiri. Aku datang karena terpanggil oleh kesengsaraanmu, Nak. Surat-suratku tak ada yang kau balas selama ini................................"


"Kau selalu kuampuni, tanpa kau pinta pun, Nak. Kau selamanya membutuhkan ampun."


"Apakah kau kira aku tak mengenal anak-anakku? Aku kenal kau sejak dalam kandungan. Aku kenal suaramu sejak tangismu yang pertama, tanpa menerima suratmu, tanpa melihat wajahmu, dari tempat jauh, hati seorang ibu sudah dapat meraba, Nak. Batapa banyak yang telah kau deritakan untuk menjadi apa yang kau kehendaki sendiri. Bahkan membagi penderitaan pun pada Bundamu ini kau enggan. Orang eropa memang mau pikul sendiri dirinya sendiri. Apa itu perlu, sedang kau masih mempunyai seorang Bunda?"


"Kau sudah dijalari penyakit eropa, Nak, penyakit untuk mendapatkan segala-galanya buat dirinya sendiri seperti ceritamu sendiri."
"Itu penyakit eropa. Kan lebih baik kau belajar mengingat orang lain juga? Kau sudah kukatakan, belajarlah bersyukur, berterima kasih? jangan, jangan bicara dulu. Dulu kau sendiri pernah bercerita, buat eropa terima kasih adalah bunga bibir. Tak ada hati yang mengucapkan. Engkau telah jadi seperti itu, Nak. Aku takkan lupakan cerita-ceritamu itu, yang pandai ingin lebih pandai, yang kaya berusaha lebih kaya. Tak ada yang berterima kasih dalam hati. Hidup diburu-buru untuk menjadi yang lebih. Kan dulu kau sendiri yang bercerita pada Bunda? Mereka semua orang yang menderita: keinginan, cita-cita sendiri, jadi raksana rajadiraja. Masih ingat?"
 .............................................................
".........setelah itu hendak jadi apa lagi?....... Betapa banyak yang hendak kau capai. Betapa banyak kesengsaraan yang kau undang buat membikin dirimu jadi lebih kuyu kehilangan kegembiraan. Mana lagi bakal tersisa buat orang lain, buat para Dewa dan Allah? Nenek moyangmu mengajar dan diajar sederhana. Guru-gurumu mengajar tentang ketidakterbatasan manusia seperti ceritamu sendiri. Nenek moyangmu sangat pandai berterimakasih, sekalipun tidak mengucapkan dengan bibirnya. Kau diajar mengucapkan entah berapa kali sehari, tapi hatimu bisu."

Betapa jauhnya dunia antara anak dan Ibu. Ini bukan jarak sejarah. Apa pula namanya?

"Hukuman, anakku, bagian setiap orang yang tidak dapat menempatkan diri secara tepat dalam tata kehidupan. Kalau bintang dia bintang beralih, kalau hutan dia hutan larangan, kalau batu dia batu ginjal, kalau gigi dia gigi gingsul. Ah, kau bosan mendengarkan kata-kata Bundamu. Beristirahatlah, kau beristirahat, dan nikmati istirahatmu."
 ............................................................................




setiap fase memang melelahkan,
bahkan dalam kebahagiaan pun melelahkan,
kesulitan moga tak pernah membuat lelah bertahan,
karena kita tahu ada Bunda yang selalu mendoakan,

buat Bunda tercinta, yang tak pernah lelah mendengar keluh kesah dan derai tawa anak yang dicinta,

#Jejak langkah page 74-86 (Minke dan Bunda terkasih)
Tak kuat hati ini menahan rindu untuk segera pulang,,
Bersimpuh dikaki Bunda,,

Maaf Bunda, ampuni hamba yang tak selalu pulang walau ada peluang,,
Maaf Bunda, ampuni hamba, yang jadi durhaka karena merasa bangga dengan apa yang ada,,
Mandiri bukan berarti hidup sendiri tanpa bantuan orang tua,,