Jumat, 27 Januari 2012

K vs K (part 1)

Cerita dimulai dari ditampilkannya sketsa seorang pengusaha X yang memberikan ucapan selamat lewat telpon kepada bapak Yatna (Teuku Rifnu Wikana) yang telah berhasil menjadi lurah. Dalam percakapan singkat tersebut tersirat hutang budi pak Yatna kepada sang pengusaha X karena telah membantu dirinya dalam pilkades.
Apa yang ditampilkan berikutnya adalah anomali sepak terjang si Lurah baru dalam mengemban jabatannya yang sekilas diselingi janji-janji bapak lurah waktu kampanye pilkades terdahulu untuk selalu melindungi warganya dan berusaha memakmurkan rakyatnya, (di chapter lain terucap alasan Pak Yatna melakukan ini semua karena demi KELUARGA?!?)
Iqbal (anak pak Yatna) dikisahkan mengalami stress karena kehilangan teman-teman sepermainannya, banyak warga tempat ayahnya jadi lurah telah meninggalkan desa karena tergusur sebuah proyek dari seorang pengembang, yang ternyata adalah pengusaha X di awal sketsa.
Digambarkan teman Iqbal hanya sebuah action figure mainan berupa "penjaga kedamaian vesi jaman modern", yang didapat dari Ella (siapa Ella?)
Konflik chapter ini muncul ketika proyek pengembang tersebut terkendala karena masih ada satu tanah yang belum bisa dikuasainya.
Diceritakan bahwa sang empunya tanah adalah seorang janda muda bernama Ella (Ranggani Puspandya), yang tidak sudi menyerahkan tanah almarhum suaminya kepada siapapun. Ella bahkan tak menggubris segala macam teror dan iming-iming dari antek-antek pengusaha X, termasuk himbauan pak Yatna.
Sang Lurah ternyata punya hubungan khusus dengan Ella, bahkan Pak Yatna pernah berjanji kepada Ella sebelum menjadi Lurah, bahwa tak ada yang akan mengganggu hak Ella atas rumahnya.
Percakapan antara Ella dan Pak Yatna yang coba membujuk (atau memaksa ya) Ella untuk meninggalkan dan menyerahkan rumah dan tanahnya inilah inti dari film pendek ini, "Kamu jadi lurah untuk siapa????".
dan akhri dari cerita????? (silahkan dilihat sendiri)---------------- SAD Ending
Layak diacungi jempol untuk Emil Heradi.

# sebuah pesan yang diambil dari hiperbolis keadaan rakyat sebuah desa yang tersentuh sebuah rencana serakahnya kota (kita??)---langsung teringat lagu ujung aspal pondok gede-nya bang Iwan.

Jadi teringat sebuah komentar guru besar dari sebuah universitas terpandang di Indonesia mengenai polemik yang terjadi di rumah belajarnya, "Power tends to corrupt". (Quote dari Lord Acton juga)

Cerita pertama diatas diberi judul oleh pak Sutradara "Rumah Perkara".



wuahahahaha, tulisan ini adalah ingatan kecil saya atas film K vs K (Kita versus Korupsi) part 1 (part 2, 3, 4 ada di laman lain).
26 Januari 2012, secara kebetulan dan mendadak "mendapat" undangan untuk hadir dalam premier film K vs K di Djakarta Theater.
Wkwkwkwkw, gayung pun bersambut, di tengah kepenatan mid week
why not??? Hajar bleeh, ...
Overall 7,89 lah nilainya,
Part 1 ini boleh deh kita kasih 7,5 untuk ukuran film lokal,

Let's support our local film,
and................
Let's kick corruption out of our country,....

Senin, 16 Januari 2012

Kesurupan hiiiiiiii

16 Hari sejak tahun baru,

Tak ada perubahan dalam rutinitas,

Masih heran juga, niat mengusir sang malas masih sebatas niat yang terucap, tanpa tindakan.
Masih menunggu partner in crime yang bisa diajak melahap semua ini,

Masih tetap seperti dulu, [sepertinya]
Bermimpi dan terus bermimpi tanpa pernah bercermin,
Mungkin dalam teman seangkatan SMA atau bahkan Kuliah saya termasuk dalam kategori no progress untuk urusan penampilan dan tampilan, wkakakakaka

Itu tampilan luar, dari dalam???

Isi otak? saya tidak yakin kemampuan kognitif saya berkembang selama 5 tahun ini, jika kita mengambil cut off perbandingan waktu kelulusan SMA, ilmu serasa hanyalah sebuah formalitas pencarian nilai hitam diatas putih (gag hitam item juga) bukan pendalaman nilai terkadung dalam ajaran dan didikan yang disampaikan,


Sikap??? Jujur saja saya merasa ada degradasi sikap dan tingkah laku dalam keseharian,
sopan santun, tata krama, unggah ungguh bertutur kata dan bertingkah laku, jauh dari apa yang sudah biasa dilakukan dalam adat kakek moyang.
Apa daya jika etika kita pernah dipertanyakan, atau sekedar diisukan berada dibawah garis standar.

Lantas bagaimana dengan kepedulian??? point ini mungkin yang paling memprihatinkan, jika dalam sikap saya pernah kuatir bila sewaktu saya pulang kampung saya lupa cara bertegur sapa [akhirnya kecemasan ini tak pernah jadi nyata (semoga)], dalam hal kepedulian kiranya dulu saya tidak pernah merasa cemas, tapi waktu malah menelan "waktu untuk peduli" [offense],
low awareness, unsympatic, careless, semboyan Talk more Do more, jadi Talk More Doing Nothing.

Serasa cita-cita besar masa SMA hanya sebuah dongeng belaka, walau kini mulai ingat kembali, semoga gag sebatas ingat,.. semoga definisi Masa Depan yang diartikan "bukan hanya bagaimana kita melihat apa yang ada di depan kita, tetapi adalah cara kita menyikapi apa yang ada di depan kita dan apa yang ada disekitar kita [disamping] bukan sebuah definisi doang,


Minggu Sore, 15 Januari 2012,
[[Masih terus teracuni oleh idealisme kecut tanpa bahan pengawet]]


Entah ada angin apa, terlintas sebentar memory bersama mendiang tokoh-tokoh terkasih,

Tergambar jelas suasana Tawur Agung di usia 5 tahun bersama kakek dan nenek + keluarga besar (sesuatu yang mustahil dilakukan kembali) semoga saya salah,

Sepenggal percakapan dengan Eyang putri yang memberi iming-iming ternak kelinci agar saya tetap tinggal entah mengapa turut terselip,

Masih terasa kecut di bibir ketika Bude Narti memaksakan jamu cekok (ramuan obat doyan makan),


Masih terasa cubitan dan tarikan di Hidung setiap berkunjung ke rumah Bude Ken,


Teringat jelas Tante Titik yang mencoba mengorek informasi kisah cinta monyet keponakannya dengan little princess yang juga digandrungi anaknya, waw waw waw

Sebentar terdengar jelas sorak-sorai supporter di Gelora Bhineka, ketika Wisnu yang tak ber-SIM pun nekat memboncengkan teman ingusannya ke Solo cuma mau mendukung tim Bola Basket sekolah,


Terasa baru kemarin, menghabiskan malam bersama,
melayangkan sumpah serapah untuk para pembobol pintu konser musik band ########, mengitari Komplek Prambanan,, bertukar pendapat [berdebat tepatnya] mengenai siapa pemain paling legendaris di Juventus, dan diakhiri dengan kekecewaan karena Juve harus bertekuk lutut di Highbury melawan arsenal,
ya semua ini terasa baru kemarin, kebersamaan bersama Mahayogi,


dan penutup lamunan sore ini, histeria liburan sehabis pra-jabatan+pengumuman definitif lokasi kerja,
seakan kunjungan terakhir ku pada Pakde adalah sebuah ritual turun temurun,
Rituan pemberian tongkat estafet,,


Dimana dengan Tongkat Estafet di tanganku sekarang, maka aku harus berlari kencang,
Ya berlari kencang dalam lintasan yang sudah digariskan,
Pelari berikutnya telah menungguku,
Menunggu tongkat estafet yang sekarang aku pegang,


Mampukah aku berlari terus dengan beban tongkat estafet ini di tangan????
mampukah aku berlari sebaik pelari sebelumnya.,,,
karena mungkin pelari berikutnya telah menunggu-ku dengan gelisah,
atau mungkinkah aku pelari terakhir, yang harus membawa tongkat estafet ini ke garis akhir????

Masih di sini, 16 hari setelah tahun baru,,

Masih seperti dulu,
Yang terus bermimpi walau pun tak tahu diri,,


#untuk mereka yang terlalu cepat dikangenin Tuhan