Kamis, 13 April 2023

Rindu

Rumah kosong,
Sudah lama ingin dihuni,

Adalah teman bicara;
Siapa saja,
atau apa,

Jendela,
Kursi,
Atau bunga di meja…

Sunyi…

Menyayat seperti belati,

Meminta darah yang mengalir dari mimpi.

-Cipt: Subagio Sastrowardoyo


Puisi ini dimusikalisasi oleh beberapa penyanyi/band, diantaranya Banda Neira dan Frau.

Penampilan musikalisasi puisi Rindu dari Frau



Jendela (tertutup gorden), kursi, dan bunga di atas meja









Sabtu, 08 April 2023

Sabtu Bersama Bestie

Sabtu pagi menjelang siang ini cuaca berawan gelap, sesekali angin menyapu lembap danau ke tembok-tembok tebing gunung. Kawasan Batur selalu terlihat elok dilihat dari atas, tak pernah bosan aku melihatnya walaupun lahir dan tumbuh di sekitar sini. Tidak heran apabila para pelancong selalu terkagum-kagum melihat pemandangan dari atas sini, begitu kesan yang kutangkap dari ekspresi mereka. Sedari pagi kuhitung, tak banyak pelancong yang naik sampai ke atas sini. Sesuai dengan ilmu titen, saat ini memang belum masuk musim liburan, musim dimana banyak sekali pendaki, yang meramaikan tempat ini.

Dari yang kudengar, mereka bercerita bahwa kegiatan naik gunung adalah bentuk pelarian, pelarian dari rutinitas kerja setiap hari yang menimbulkan penat atau stress. Hal ini menimbulkan tanya padaku, apakah pendakian mereka kesini itu sejenis pelarian dari dharma mereka, apakah berat dharma keseharian yang mereka geluti sehingga perlu waktu khusus untuk rehat atau melarikan diri? ahh… memang rumit para manusia ini, selalu saja terlihat beban di raut wajah mereka ketika sampai di atas puncak ini.

Setiap hari, selalu ada wajah-wajah sama yang rutin kembali kesini, mereka telah mendedikasikan diri bekerja naik-turun gunung ini, mereka adalah warga sekitar kaki Batur yang mendharmakan diri menjadi penuntun atau pemandu bagi pendaki pelancong. Para pemandu ini sama halnya denganku, sudah hafal jalan dan tikungan agar sampai puncak atau untuk kembali sampai di kaki Batur dengan cepat dan aman, bedanya aku dan teman-temanku tidak mau disebut penuntun atau pemandu pelancong, kami senang kalau disebut rekan pendaki. 

Terang telah menginjak seperempat hari saat aku masih menikmati puncak seperti biasanya, di tengah keramaian kera-kera bringasan kulihat sepasang pelancong bule, sebutan umum disini untuk pelancong dengan ciri badan yang sangat berbeda dengan warga lokal, dan satu gadis pemandu sedang bersiap kembali turun. Kuputuskan melangkahkan kakiku pada 3 pendaki ini, aku mengenali perempuan pemandu, usianya masih muda, tidak setiap hari ia memandu pendaki kesini, bisa jadi gadis muda ini tidak mengejar target jumlah pelancong, atau bisa saja pemandu ini memiliki kesibukan kerja lainnya. Aku tidak tahu detail mekanisme imbal balik jasa para pemandu ini, yang pasti mereka cas cis cus bicara berbagai bahasa dengan para pelancong, bahkan para pemandu bisa memahami bahasa kami dan kera-kera bringasan puncak Batur, dan yang terpenting lagi selalu kulihat wajah ceria mereka setiap mengantar para pelancong ke puncak Batur ini.

Ketut adalah nama gadis pemandu ini, sementara sepasang pelancong bule belum kudengar nama mereka diucapkan, perkiraanku tak jauh umurnya diatas Ketut. Dua pelancong ini sepertinya sedang dalam perjalanan memetik madu. Dari obrolan mereka bertiga terlihat sudah sangat akrab, sambil berjalan turun mereka terus bercerita tentang banyak drama keseharian 3 manusia ini. Jalur turun yang diambil Ketut adalah menuju Serongga. Untuk naik ke Puncak Batur, para pendaki bisa menempuh banyak jalur yang terbagi dari titik awal pendakian, ada rute melewati Pasar Agung, ada jalur dari Toya Bungkah, bisa juga melalui Serongga atau para pendaki bisa menempuh pendakian lewat Culali yang juga disebut Bukit Mentik. 

Masing-masing jalur punya ciri khas dan keunikannya sendiri, dimana setiap jalur menawarkan pengalaman yang berbeda, baik dari topografi medannya maupun dari pemandangan yang didapatkan, karena sudut melihatnya yang berbeda. Walau sudut pandang yang didapat berbeda saat dalam perjalanan, pada akhirnya puncak yang dituju adalah sama. Perbedaan topografi medan yang bisa memberi kemudahan pendakian tidak serta merta mempercepat waktu tempuh pendakian, semua tetap bergantung pada kegigihan dan fokus para pendaki untuk sampai ke puncak Batur.. hehehe….

Sedari tadi, kuamati jalur belakang tidak ada tanda-tanda rombongan lain yang menyusul kami turun menuju Serongga, mungkin rombongan lain turun menuju Toya Bungkah, jalur paling ramai menuju puncak Batur. Dari awal memang kuambil posisi di belakang rombongan, agar tidak mengambil peran Ketut sebagai pemandu, dia hafal dan tahu mengatur ritme pelancongnya, sambil terus mengalirkan obrolan, salah satunya Ketut bercerita tentang kawananku, anjing-asu Kintamani yang banyak berkeliaran di sepanjang jalur pendakian Batur dan Agung.

Perjalanan turun sudah lewat setengah jalan, panas sudah mulai unjuk gigi, dari ketinggian sudah terlihat kawasan pemandangan sunrise Serongga, kudengar pelancong bule ini akan langsung menuju Bali Selatan setelah makan di rumah Ketut. Iya, selalu kudengar dari para pendaki, bahwa tujuan pelesir mereka memang di daerah Bali Selatan. Banyak pemandu di Batur juga hafal daerah-daerah di Bali Selatan, yang selalu ramai dengan pelancong, mungkin kalau bisa dilihat dari atas, Bali Selatan selalu menyala, berbeda dengan tepian Danau Batur yang selalu hening, yang kata moyangku bersemayam kura-kura Akupa di dasarnya.

Lanskap Danau Batur kalau kita perhatikan, dikelilingi perbukitan yang seolah membentuk pagar pekarangan, ada cekungan mirip mangkok tengkurap yang mengelilingi Danau Batur. Pekak pernah bercerita bahwa apabila tiba waktunya mahapralaya, kura-kura Akupa akan muncul ke permukaan danau dan bertiwikrama memenuhi cekungan. Kura-kura Akupa akan melakukan dharmanya untuk kembali menopang Mandara agar tidak tenggelam. Karena selalu terbawa cerita itu, kadang pada malam di kesendirian puncak Batur aku merasa melihat sepasang mata kura-kura Akupa terpantul di permukaan Danau Batur.

Dari kejauhan, kulihat di bawah kami, ada seorang pendaki pria yang baru naik menuju puncak Batur. Sendirian? tak kulihat pemandu ada disekitarnya. Apakah pendaki itu pernah naik ke Batur, atau pendaki lokal pulau dewata, kenapa bisa naik tanpa ditemani pemandu dari bawah? Ketika jarak rombongan kami dengan solo pendaki ini semakin dekat, kuamati pendaki ini terlihat sudah kecapekan, padahal jarak menuju puncak masih jauh dan sudah siang. Dalam posisi dekat, kulihat pendaki ini cengar-cengir, sedang kesakitan atau memang begitu mimik wajahnya? Seperti asu yang nyengir kehausan!

“Puncaknya masih jauh mbak?” sambil menyeringai pendaki ini bertanya kepada Ketut saat kami berpapasan. “Puncaknya di balik bukit itu, masih satu setengah jam lagi!” jawab Ketut sambil menunjuk bukit di belakang kami. Hah? ternyata pendaki ini tidak tahu sisa jarak yang masih akan ditempuh menuju puncak Batur? Sekilas, pendaki yang usianya sebaya dengan Ketut ini terkesan ceroboh, proporsi badannya juga menunjukan kalau pendaki ini jarang bergerak dalam kesehariannya, nampak juga kepayahannya. Sambil memberikan jalan untuk rombongan kami turun, pendaki ini mengambil waktu istirahat di lereng pasir hitam, semua disapanya satu-satu, termasuk aku. “ck ck ck ck, bestie… bestie.. ck ck ck ck” Pendaki ini ternyata bermaksud menyapaku dengan panggilan mirip yang ditujukan warga Batur ke ayam-ayamnya!

Ujung kaki Batur tinggal beberapa putaran awan saja, dengan Ketut sebagai pemandu dua pendaki bule ini tentu akan aman dan selamat. Beberapa langkah dari titik pendaki muda ini beristirahat, kuputuskan untuk berbalik arah, kembali naik ke Puncak Batur menemani pendaki ini, yang akan kupanggil bestie, sesuai panggilannya kepadaku tadi. Perkiraanku tentu benar, bestie ini awam dengan jalur pendakian Gunung Batur, khususnya jalur Serongga. Apa alasan bestie naik dari Serongga, kenapa tidak melalui Toya Bungkah? Apakah penginapannya berada di bawah Serongga? atau bisa jadi bestie menginap di Lake Garden Batur, tempat penginapan dua pendaki Korea yang aku temani turun Batur akhir minggu lalu.

Di awal muncul kegamangan juga, apakah bestie bersedia aku temani? Jangan-jangan dia anti-asu? Kalau bersedia aku temani, jangan-jangan dia berpikir aku memiliki pamrih, mengira ada ekspektasi yang kuharapkan dari laku menuntunnya menuju puncak? Setelah kubulatkan tekad, Aku inisiatif mengambil posisi jalan di depan bestie, akan kutuntun dan kupilihkan jalan yang landai dan tidak licin pikirku. Setelah kami lanjutkan perjalanan, aku tahu bestie sangat gembira menyadari bahwa pendakiannya tidak sendirian lagi. Menurutku solo pendaki sangatlah konyol, apalagi kalau bukan pendaki profesional, tidak tahu medan dan tubuh tidak dalam kondisi prima. Ritme mendaki bestie tidak setrengginas Ketut tadi, sedikit-sedikit berhenti untuk istirahat. Tidak membutuhkan waktu lama aku sudah dapat menyesuaikan dengan kecepatan dan ritme langkahnya, tahu waktunya dia mulai kelelahan dan butuh istirahat, sehingga kalau dia ketinggalan agak jauh, aku dapat mengambil waktu istirahat yang lumayan lama sambil menunggu bestie menyusul.

Setiap beristirahat, kulihat dia sering mengeluarkan gawainya, mengambil gambar pemandangan Danau Batur dengan sedikit latar Gunung Agung di kejauhan. Kondisinya sudah capek, tetapi bestie masih menampakan wajah sumringahnya, sesekali bestie mencuri kesempatan untuk mengambil foto profilku, sialnya, diajaknya aku untuk tampak di layar gawainya bersama wajahnya. “Bestie, halo bestie, say hello to mbaknya, hai bestie.. hai mbaknya” sambil terengah-engah dia memanggilku untuk menoleh ke arah gawainya, entah ia sedang berkomunikasi dengan temannya melalui gawainya atau hanya merekam gambar begerak. Pengamatanku, manusia masa kini memang tak bisa dilepaskan dari gawainya, tidak hanya di rumah, di tepi danau, di ladang, juga di atas gunung, bahkan di dalam pura sekalipun, tangan dan mata manusia tak pernah lepas dari gawainya.

Manusia berjalan dan lari menggerakan dua kakinya, dua tangannya masih bisa memegang gawai, berbeda dengan mamalia darat lain yang bergerak dengan empat kakinya. Pada hakikatnya menurut bule Thom Friedman kita hidup di dunia yang linier, dimana jarak, waktu, dan kecepatan berjalan secara linier. Tetapi dengan kemajuan teknologi yang dialami manusia, telah menimbulkan kemajuan yang eksponensial, manusia telah dibawa dalam kemajuan yang terus loncat-meloncat dari satu kemajuan ke kemajuan baru, perkembangan ini memunculkan kepanikan dan tekanan tersendiri buat para manusia untuk tidak tertinggal, tidak mengambil jeda, mungkin ini juga yang menimbulkan trend pelarian dari rutinitas keseharian tadi, healing kata para pendaki muda. Tetapi dalam healing-nya pun manusia masih sibuk dengan gawainya. Mungkin ini salah satu dampak dari perkembangan teknologi yang ekponensial tadi, menuntut manusia semakin menunjukan eksistensinya secara instan dan terukur jelas. Sebagai contoh, dari media percakapan privat daring, media sosial telah berevolusi menghadirkan instrumen pengukur pengakuan eksistensi manusia dengan tombol like-retweet, follow-subscribe dan share-reposting. Hal ini juga mendorong manusia untuk memonetisasi tingkah binatang di media sosial agar eksistensi manusia diakui sesamanya.

Saat istirahat bestie menikmati bekalnya berupa air mineral dan camilan berbahan pengawet. Ditaruhnya potongan camilan itu di depanku, aku tidak merespon hal tersebut, bestie masih mengamatiku terlihat bingung. Mungkin bestie tidak tahu bahwa kami anjing kintamani tidak suka makanan berpengawet seperti camilan mereka, kami juga tidak mengharapkan para pelancong ini memberikan makanan pada kami, tidak seperti para kera beringasan di puncak Batur. Bestie masih berusaha mendekatkan potongan camilan itu ke depan rahangku, tetap tak kugubris juga, hari ini kebetulan juga aku sedang berpuasa, jadi misalkan bestie mengulurkan potongan daging sapi pun tidak akan lidahku menyentuhnya. Penasaran bestie keliatannya semakin berlanjut, air mineral dari botol ia guyur ke atas kepalaku, spontan aku menghindar, busyeeet apa yang dilakukan ini orang. Genangan air mineral di tanah ia tunjuk-tunjuk, aku paham dia bermaksud memberiku minum, aku puasa lirihku. Bestie masih belum jera juga, ia tuang air mineral ke tangannya, lalu ia dekatkan tangannya ke depan mulutku, “dasar kepala batu!” geramku sambil melanjutkan perjalanan dan mengakhiri istirahat ini.

Jarak ke puncak tinggal beberapa kejaran lagi, setiap ada persimpangan selalu kuambil jalan yang lebih landai dan tidak licin, untuk memudahkan bestie yang sudah sangat kecapekan. Setiap aku berbelok arah pada persimpangan, bestie kutengok selalu mengeluarkan gawainya, mendokumentasikan persimpangan ini, atau jangan-jangan dia takut aku menuntunnya ke tepi jurang… hehehe… Sepanjang perjalanan kudengarkan bestie selalu bertanya “masih jauh ga bestie puncaknya?” atau kadang bermonolog “capek bestie!” hahaha…Sembari berjalan juga kudengar dia selalu bergumam, tapi tidak jelas apa yang diomongkannya, lagi menyanyi, merapalkan doa dan mantra atau jangan-jangan sedang menggerutu. Manusia memang sulit dipahami, kami anjing kalau tidak penting tidak akan mengeluarkan suara.

Perjalanan sudah melewati batas vegetasi, walau di Batur, tanaman masih bisa hidup di puncak, tapi batas vegetasi ini memberi jarak dengan kawasan hutan, puncak sudah terlihat semakin dekat. Sebagai penduduk tetap Gunung Batur, apa keinginan terbesarku? Aku hanya ingin para warga yang telah mendapatkan keuntungan secara langsung maupun tidak langsung dari keberadaan Gunung Batur, yang telah menarik banyak pelancong ke daerah sini, bisa menjaga kelestarian daerah Batur. Tidak hanya rindangnya lereng-lereng bukit yang perlu dijaga, seperti dirasakan oleh bestie juga setiap beristirahat sulit menemukan tempat teduh. Setiap memandang pemandangan indah tepian Danau Batur, senang dan sedih bercampur jadi satu. Kulihat geliat kemakmuran warganya karena semakin banyak berdiri penginapan-penginapan, yang semoga dimiliki oleh warga lokal, tetapi selain itu juga semakin berkurang daerah hijaunya. Kata temenku yang merupakan anjing pendatang dari Bali Selatan, kondisi disini masih jauh lebih baik dibandingkan Bali Selatan sana. semoga memang begitu dan ke depan semakin tinggi kesadaran warga lokal, para penuntun dan pemandu menjadi penjaga alam Batur ini.

Sudah ada bedeng warung yang kami lewati, puncak sudah terlihat. Bestie mengambil gambar bedeng warung yang tentu sudah tutup jam segini, ada sepasang bule dan satu pemandu pria beristirahat di bedeng itu ikut terambil gambarnya. Perjalanan kami lanjutkan, sudah terlihat para kera beringasan siap menyambut bestie dan camilan-camilannya. Perjalanan naik ini memang singkat, tapi bagaimana kita bisa dipertemukan dengan rekan pendaki adalah selalu menjadi misteri, mungkin dalam kehidupan yang lalu atau di universe yang lain aku dan bestie adalah kawan satu sekolahan yang saling bahu membahu mengerjakan PR, bisa jadi kita adalah saudara anjing satu majikan, karmapala bekerja dengan aturannya yang tak pernah salah, sebuah pertemuan tentu bukan kebetulan terjadi tapi ada makna yang tidak dapat kita uraikan saat ini. Perjalanan tadi, mungkin bukan aku menolong bestie, bisa juga bestie menolongku, memberikan arti dan melatih dharma yang sudah lama aku lakukan ini, menemani para pendaki Gunung Batur.

Sesampainya di puncak, kami melihat ada satu rombongan ramai bule eropa timur, ramai karena ada enam orang anak-anak dan empat orang dewasa, aku hitung ada tiga pemandu yang mengiringi rombongan ini. Bestie langsung kewalahan menghadapi kera-kera bringasan, sedang denganku para kera ini hanya menyeringaikan taring-taringnya. Aku berjalan gontai menuju tempat istirahatku, kubiarkan bestie menikmati puncak Batur, dalam capeknya pasti ia akan istirahat agak lama sebelum kembali turun lagi.

………..

Aku terbangun ketika angin puncak berubah menjadi sangat dingin, ternyata gelap mendung sudah pekat. Ahhh bestie dimana dirimu, kuberjalan di sekitar kawanan kera, tak kulihat bestie disitu, dari kejauhan kulihat ada satu pemandu turun mendampingi bule kecil tadi. Bestie telah turun pikirku, apakah dia mengambil jalan yang tepat ke arah Serongga, karena kalau tidak, di bawah nanti dia akan memutar jauh bila menuju Serongga. Apakah bila sudah benar mengambil Serongga, bestie akan ingat jalur-jalur tadi, atau dia bisa memilih jalur yang benar. ahhhhh.. Di jalur pendakian dia tentu tak bisa menggunakan peta penunjuk arah di gawainya. Semoga rekaman dan gambar yang dia ambil pada setiap persimpangan tadi bisa menuntunnya kembali sampai kaki Batur.

Tak berselang lama, hujan mulai turun, semoga bestie dapat selamat sampai bawah dan selamat kembali sampai rumah, berkumpul bersama keluarganya. Langsung kuteringat pada keluargaku, ibuk dan saudara-saudaraku di tepi Danau Batur. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu memberikan wara nugrahanya kepada keluargaku.

Sabtu Bersama Bestie