Senin, 31 Maret 2014

1936

prolog: Background pendidikan yang saya dapat mungkin membuat saya sering menggunakan angka-angka untuk hal-hal yang seharusnya lebih mudah disampaikan tidak dengan angka. 1936 saya ambil sebagai judul dalam posting pertama di tahun 2014 ini seiring dalam rangka menyambut tahun baru Saka 1936.



Sudah berapa kali Tawur Agung di pelataran candi Prambanan yang saya lewatkan?
Sudah berapa kali catur brata penyepian yang saya lakukan di Jakarta?
Kapan terakhir saya merayakan tahun baru saka bersama keluarga?

Sebagai seorang anak yang masih rindu kehangatan keluarga, pertanyaan-pertanyaan sendu seperti ini sering kembali saya teriakan setiap pelaksanaan hari raya nyepi.

 Tahun Saka 1935 telah berakhir, telah banyak moment spesial yang terjadi, luar biasa, mungkin dua suku kata itu bisa meringkasnya.


Pada intinya setiap menjelang datangnya upacara catur brata penyepian, hal yang spontan saya lakukan adalah mengingat apa saja yang telah terjadi di tahun kemarin, apa saja yang telah saya kerjakan, apa saja yang sudah saya berikan, dan apa saja nikmat yang selalu lupa saya syukuri.

Amati geni mengajarkan kita untuk menikmati damainya pribadi tanpa emosi, ego dan keinginan yang menyala-nyala, mematikan percikan api mulai dari diri sampai lingkungan sekitar. Memadamkan cahaya agar kita mampu meresapi makna ketiadaan cahaya sehingga kita bisa mensyukuri betapa nikmat penerangan yang diberikan kepada kita selama ini.

Amati karya menuntun kita kembali kepada hakikat awal, untuk apa dan mau kemana kita, yang selalu menggerakan kita dalam berkreasi. Ini bukan istirahat karena letih bekerja, ini adalah cara kita melihat kembali apa yang sebenarnya kita tuju sampai kita letih bekerja.

Amati lelungan, mengingatkan kita kembali sudah berapa jauh jarak yang telah kita tempuh, berhenti sejenak, menghargai semua usaha yang telah kita lakukan dalam setiap langkah. Mengambil tempo untuk tidak menempuh jarak sebentar, diam, dan melihat kebelakang, untuk bersiap menuju ke depan kembali.

Amati Lelangunan, sudah berapa desibel bunyi yang kau teriakan, yang mengganggu-menyakiti-melukai orang lain, sudah berapa kali kau dengar suara gaduh, suara sumbang yang tertuju untukmu? Betapa tajamnya perkataan, betapa cepatnya suara sumbang menyebar. Dalam sunyi kita dituntut untuk kembali ingat, untuk selalu berhati-hati dalam bersuara, dan untuk selalu tenang mendengarkan.

Saya, walau sendirian merayakannya saat ini, selalu merasa bahagia saat hari nyepi tiba.

Kenangan lama selalu muncul, menghias indah relung memori,

Betapa polosnya saya waktu kecil, berlarian histeris takut dikejar ogoh-ogoh yang diarak di pelataran candi prambanan, menjatuhkan diri di tikar rombongan keluarga, dilanjutkan makan tenongan yang dibawa dari rumah, Eyang Kakung-Eyang Putri-Bapak-Ibuk-Om-Pakde-Bude-Bulek, kapan lagi momen seperti itu terulang kembali.

Waktu terus berjalan, seperti penggalan sebuah lagu "The future's not ours to see' que sera, sera"
 Janganlah resah atas apa yang akan terjadi di hari depan, saat ini, mari menepi sebentar, melihat kembali apa yang telah terjadi minimal setahun belakangan, untuk menjadi bahan instropeksi kedepannya,

Selamat hari raya nyepi dan tahun baru saka 1936.
Semoga Sang Hyang Widi Wasa selalu memberikan wara nugraha untuk kita semua, Astungkara.

Om Santi Santi Santi Om.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar