Sabtu, 26 Oktober 2013

Lawu Calling

“Hidup adalah soal keberanian,
menghadapi yang tanda tanya,
tanpa kita mengerti,
tanpa kita bisa menawar,
terimalah dan hadapilah" 
-Soe Hok Gie

13-14 Oktober 2013, Liburan Lebaran Haji,
Kami merealisasikan rencana lama untuk naik ke puncak Gunung Lawu, dan kebetulan perjalanan berangkat kami lakukan pada malam hari. -#lawunighttracking

Semua rencana ini timbul setelah pengumuman beasiswa alih jenjang D3 ke S1,
dalam lembar lampiran pengumuman, tercantum nama saya ---nowo berderet dengan dua teman seangkatan, sebut saja mereka ---toni, dan ---wau.

Kami bertiga memutuskan akan naik Gunung Lawu sesudah berada di tempat perkuliahan nanti,
saya dan Wau dijadwalkan sudah memulai perkuliahan di Semarang akhir Agustus 2013,
Toni baru memulai perkuliahan pada akhir September 2013 di Solo.
setelah disesuaikan maka disepakati kami akan berangkat saat cuti bersama lebaran haji 2013.




Manusia berencana, Tuhan pun tertawa, anekdot tersebut selalu membuat kita tersenyum terkulum saat rencana tidak selalu bermuara pada kenyataan hari ini. Singkat cerita, rencana awalpun berubah, tujuan masih tetap, Gunung Lawu, jadwal keberangkatan masih tetap pada rencana awal, hanya saja dengan itinerary yang sangat terburu-buru, selain itu, Wau tidak jadi ikut, karena bersamaan dengan agenda lain, pengganti pun muncul, teman kita yang satu ini adalah ---muchtar, dan rombongan tetap pada komposisi awal tiga orang.

Seorang teman pernah berucap cantik, "...apapun yang saya lakukan haruslah didasari motivasi, kenapa saya melakukannya..." lantas apa motivasi kami? memilih tujuan Gunung Lawu? ditengah liburan pendek? yang seharusnya kami nikmati mentah-mentah, disaat cuti sulit didapat, -sebagai info ralat, hanya Toni saja yang akhirnya berangkat dari tempat perkuliahan, saya dan Muchtar bertolak dari Jakarta, H-1 sebelum keberangkatan.
Lantas apa motivasi kolektif kami? karena perjalanan ini sudah bukan lagi syukuran mendapat beasiswa. Lantas apa motivasi tiap individu ini? sampai akhirnya turun dari Lawu, sepertinya kami masih mencarinya, mencari motivasi dengan memotivasi diri agar terus termotivasi. #hasyaah

Seperti biasanya, setiap perjalanan menimbulkan cerita-cerita yang menjadi bumbu pemanisnya, smoke screen atas tujuan utama memang selalu menimbulkan gairah tersendiri,
and Lawu calling, yes, I was there, too.

-Hardiman's wedding party

Salah satu kekayaan yang dapat kita banggakan adalah teman, apa arti seorang teman? setiap orang punya versi terjemahannya. Kapan momen bahagia dalam sebuah pertemanan? salah satunya adalah datang di acara pernikahannya, -dengan asumsi dia pun bahagia dengan kedatangan kita.
Selagi ada waktu, selagi bisa, usahakanlah menghadiri undangan pernikahan seorang teman.

Hardiman Effendi-Rina Setyarini, dua teman satu almamater kami, memutuskan untuk menempuh berlayar dalam satu perahu pada tanggal 13 Oktober 2013, tempat resepsi di Purworejo, kurang lebih 6 jam perjalanan motor dari pos pendakian Cemoro Sewu, di Kabupaten Magetan.

Muchtar berkendara motor memotong Jawa Tengah dan sedikit mengiris DIY menuju Purworejo dari Salatiga. Muchtar telah siap dengan semua logistiknya, menggendong tas carrier ke acara hajatan Hardiman, menuju ke Purworejo, dengan tujuan akhir hari itu adalah sampai ke Puncak Lawu, mungkin perjalanan ini bisa jadi dongeng untuk anaknya kelak.

Toni, bertindak sebagai tuan rumah, telah mempersiapkan semua peralatan pendakian di kostnya, Palur, Kabupaten Karanganyar, dia juga telah mengestimasi waktu perjalanan nanti, mengantisipasi capek yang didapat para rombongan dari perjalanan ke hajatan Hardiman.
Toni berangkat dari Palur pukul 08.00 menuju Klaten dulu, untuk bersama saya menuju ke Purworejo, Palur-Purworejo kurang lebih berjarak 95 KM, jadi berapa KM jarak yang ditempuh Muchtar tadi?

Karena bertepatan dengan liburan cuti bersama, acara nikahan Hardiman kali ini bisa jadi semacam reuni kecil untuk alumnus kampus jurangmangu angkatan 2007. Kunjungan kami di resepsi Rina-Diman ditutup dengan satu lagu campusari dari Toni.

selawe, satu per satu mulai berpasangan
Selamat, dan semoga bahagia selamanya untuk teman kami, Hardi-Rina, semoga sisa 25 yang belum berkeluarga segera menyusul, Amin.

-Gantiwarno

Semangat untuk segera sampai Lawu, membuat perjalanan pulang dari Purworejo tak terasa berat seperti saat berangkat tadi, kami bertiga sampai Klaten tepat waktu, jam 4 sore, mampir sebentar ke gubug saya untuk istirahat sejenak meluruskan tulang belakang, untuk selanjutnya menuju Palur, sebelum berangkat ke Cemoro Sewu.

Seperti yang pernah saya tulis di halaman path, "bukankah kata orang hidup cuma singgah sebentar, singgah minum, singgah ngobrol singgah berteduh, singgah makan, jadi semakin lama dan semakin banyak singgah, kita akan semakin jauh dari tujuan, apakah demikian?"

Bukankah akan lebih cepat dan efisien apabila kami langsung dari rumah masing-masing ke Cemoro Sewu, bertemu disana, atau cukup nanti mampir di Palur untuk merapikan perbekalan, apakah cukup demikian?

Seandainya perjalanan ke Gunung Lawu ini ibarat hidup kita, itinerary mana yang akan Anda buat untuk sampai ke Lawu?
Pilihan pertama, jalur cepat, apa tujuan kita, langsung menuju kesana, menghiraukan godaan dan dorongan untuk singgah, karena sampai pada tujuan adalah inti dari perjalanan Anda.
Pilihan kedua, jalur reguler, kita paham ke mana kita akan berakhir, kita juga tak mengabaikan apa yang terjadi di sekeliling kita, menjalani hasrat dan dorongan dalam perjalanan mencapai tujuan, karena bagi Anda, bagaimana anda menjalani perjalanan, itulah inti dari semuanya, mencapai tujuan adalah hadiah dari perjalanan ini.
Pilihat ketiga, jalur macet jakarta, hahahaha.

-kost Toni, Palur

Perjalanan mulai molor dari jadwal, dimulai dari lamanya kami beristirahat di Gantiwarno, -kecapekan, hihihi, baru sehabis maghrib kami melanjutkan perjalanan menuju Palur, padahal menurut jadwal, kami seharusnya sudah berada di Palur.

Perjalanan ke Palur dari Klaten, untuk nanti ke Cemoro Sewu, kami tempuh dengan berkendara sendiri-sendiri. Di tengah Kota Solo, kami pun berpencar, menempuh jalan yang kami hapal masing-masing, saya memilih lewat gladak, sembari menikmati sendunya Kota Solo pasca ditinggal Jokowi.

Janjian bertemu di Palur, kami langsung menuju ke kost Toni, waktu menunjukan sudah pukul 8 malam. Entah, kenapa teman kami ini memilih Palur sebagai tempat kost-nya. Mengambil jarak dari keramaian mahasiswa yang terkumpul di Kentingan, enggan mendekat ke Kota Solo, mungkin alasan satu arah dari Madiun menjadi pertimbangannya, atau ada alasan lain, entahlah.

logistic base
Dan perbekalan pun sudah siap, lelah sehari ini pun tak terasa, salah satu dari tweet @kresnoo "Ketika jiwa sudah berada di tempat seharusnya, lelah hanya sebuah mitos!"

-Cemoro Sewu

Cemoro Sewu, terletak di Kabupaten Magetan, berjarak tempuh 10 menit diatas Grojogan Sewu yang terkenal itu. Cemoro Sewu merupakan batas antara Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, sekedar info, kaki Lawu ada yang mencengkeram Jawa Tengah, dan sebagian lagi bercokol di Jawa Timur.

Kami memutuskan mendaki lewat Cemoro Sewu, karena berdasar survey awal Toni, hutan di jalur Cemoro Kandang habis terbakar, selain itu Toni pernah naik ke Lawu lewat Cemoro Sewu, so, sebagai pendaki pemula, saya dan Muchtar, ikut itinerary yang telah dibuat Toni, team leader trip kali ini.

Alih-alih langsung mendaki saat sampai di Cemoro Sewu, seperti tertera dalam jadwal, kami malah beristirahat sejenak menikmati sedapnya Indomie ditengah dinginnya Cemoro Sewu.

adakah beban pada kalian, mata kalian berbicara

Bagi saya, sampai di Cemoro Sewu dengan berkendara motor malam saja sudah merupakan kesenangan, begitu indahnya Nusantara, nikmatnya berkendara.

-Lawu Night Tracking Traveling


Pukul 11 malam pas, kami mulai menyusuri ketinggian Gunung Lawu, molor sekali dari jadwal awal, yang seharusnya sudah start dari Cemoro Sewu pukul 9. hihihihi

Jalur pendakian Gunung Lawu merupakan jalur pendakian fovorit bagi pendaki pemula, jalur ke puncak telah dibuka dan dibuat dengan rapi oleh Kopassus, tatanan batu kali sampai di pos 5 memudahkan pendaki menuju Puncak Lawu.
Sebagai pendaki pemula, saya dan Muchtar pada awalnya menikmati jalur pendakian Lawu ini. Kami berpikir memiliki banyak waktu untuk mengejar sunrise di Puncak, maka tempo jalan pun kita buat santai, dan hal inilah yang malah membuat kami merasakan capek di tengah perjalanan.

Pendakian ke Lawu kali ini, dengan mepetnya waktu, kami memutuskan untuk tidak berkemah, berangkat tengah malam tanggal 13 Oktober, berharap sampai di Puncak saat mentari mulai bersinar, dan sudah sampai rumah masing-masing saat Takbiran Idul Adha 14 Oktober.

Lelah yang masih terbawa dari Purworejo memang tak dapat dipungkiri membuat perjalanan menjadi berat, atau badan kami yang berat, karena selalu nyaman dengan rutinitas? entah berapa kali istirahat yang kami lakukan dalam dinginnya malam.

jangan takut gelap hihi

Perjalanan kali ini kami berhasil menikmati sinar terang rembulan malam, walau tidak bulan penuh, suatu hal langka dalam keseharian kita, ketika kita hanya mengandalkan head lamp dan pancaran sinar bulan. Setelah lewat pos 1 kami jarang berpapasan dengan rombongan lain, hanya setelah lewat pos 3, kami melewati beberapa tenda kemah, ahh sempurnalah malam itu, seandainya kami berkemah.

Dingin kami rasakan, sampai mati rasa telapak kaki, seteguk mineral dan secuil coklat adalah sebuah kemewahan yang masih bisa kami bawa, sunyi menelan kami, keheningan Lawu membuat kami semakin merasa kecil, begitu besarnya kuasa di luar kita, gumamku sepanjang perjalanan malam itu.

Apa tujuan kami kesini, memodifikasi pertanyaan sebelumnya soal motivasi,
setiap orang yang berpetualang ke Gunung tentu pernah ditanya, apa enaknya dan apa asyiknya naik Gunung???
Bahkan Soe Hok Gie pun menuliskan dalam puisi Mandalawangi-nya,
"Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna,

Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan,

Dan aku terima kau dalam keberadaanmu,

Seperti kau terima daku"

Jadi apa motivasi kolektif kami ke Lawu?

Mencari kebebasan, kebebasan yang bagaimana?
Karena kami pecinta alam, mencintai? apa yang sudah kamu berikan pada alam?
Mencari ketenangan dan kesunyian, sebegitu rumit dan kacaukah hidupmu?
Banyak jawaban diuraikan, banyak hal dipamerkan, apakah cukup semua itu?

Butet Manurung, ketika ditanya mengapa dia suka mendaki Gunung, menjawab bahwa
"Petualangan itu menikmati proses, setiap perjalanan selalu berbeda rasanya, setiap detik berlalu dengan kesan tersendiri karena kita senantiasa bertanya apa yang akan terjadi di detik berikutnya, perasaan itu menimbulkan sensasi-sensasi tersendiri yang biasanya membuat orang lupa rasanya, makanya orang ingin alami lagi dan lagi.
Petualangan itu semacam kegiatan di mana kita tidak tahu ada apa di depan sana, tapi kita tahu ada kesulitan/resiko2/bahaya yang mungkin terjadi atas kita, itu yang justru menjadi sensasi tersendiri. Terkadang kita punya tujuan dari kegiatan tersebut, tetapi terkadang juga tidak, karena yang penting bukanlah target tetapi proses itu sendiri. Melakukan yang terbaik dalam menjalani proses itu yang penting, bukan hasil terbaik"


-Hargo Dumilah, 3265 mdpl

Mendapatkan sunrise di pos 4, tak mengendorkan kami untuk segera mencapai Hargo Dumilah,

menengadahlah untuk mensyukuri nikmat-Nya, bukan untuk menyombongkan dirimu
Dalam perjalanan menuju puncak, tak lupa kami singgah ke warung mbok Yem,
Sebagai informasi umum, warung mbok Yem, dan Warung mbok Prapti, adalah tempat jualan yang menyediakan tempat istirahat bagi para pendaki Lawu,
Warung-warung ini terletak setelah pos 5, menjadi tempat istirahat wajib para pendaki Lawu, yang berniat istirahat sebentar, sebelum meneruskan summit attack,

Setelah sarapan dan minum air hangat sebentar, kami tinggalkan carrier di Warung mbok Yem untuk melanjutkan perjalanan menuju Hargo Dumilah, puncak Lawu.
Perjalanan kami mulai kembali Pukul 7 kurang, sinar matahari sudah mulai panas, tak mengurangi antusias kami untuk mencapai Puncak, walaupun tak bisa dibohongi, lelah mendera kami semua.

terkadang kita harus merelakan orang lain melompat dahulu

Sepenggal puisi dari Kahlil Gibran, untuk menggambarkan apa yang kami lakukan waktu itu,
"Jika ingin melihat lembah,
mari mendaki ke puncak gunung
Jika ingin melihat puncak gunung,
mari terbang ke awan
Jika ingin memahami awan,
pejamkan mata dan renungkan
"

Jangan menyerah





Apakah ini tujuan yang kami tuju?

-Rumah dan Idul Adha

Perjalanan turun selalu berjalan dalam tempo yang lebih cepat dari keberangkatan,
Kebahagiaan sampai Puncak, menjadi tenaga tambahan turun menapaki jalan yang kita tempuh semalam,
Tepat sebelum jam 11 sesudah kami sempat tidur di Warung mbok Yem, kami lanjutkan perjalanan turun, kembali ke rumah, kembali bertemu keluarga, menghabiskan sedikit waktu liburan tersisa.

Obrolan dan curhat yang dari semalam terus berlanjut, hahaha walaupun masing-masing dari kita terus bertahan untuk tidak terlalu terbuka, yang lain terus juga berusaha untuk mengorek informasi kita,

Alangkah nikmatnya turun gunung, ujar Muchtar disela kesempatan istirahat, kami pun bergumam, tetapi untuk bisa menikmati turun gunung seperti ini, bukankah kita harus naik dulu seperti kemarin?

Disela waktu menikmati pemandangan lembah yang terlihat disepanjang lereng Lawu, Toni selalu berujar, bahwa apa yang dikatakan dalam Novel dan Film "5cm" itu jauh dari benar, hahaha
Meletakan cita-cita kita 5cm tepat didepan kening kita masing-masing? tentu saja hal tersebut membuat cita-cita kita menjadi tidak terlihat, bukan begitu?
Sesuatu yang diletakan 5 cm di depan kening kita tentu saja akan menjadi kabur, tidak terlihat jelas oleh mata, tidak fokus, lalu bagaimana kita mencapainya bila hal tersebut tiddak jelas kita lihat?
hahahaha itu hanya guyonan sambil melepas lelah,

Tetapi memang bukanlah lebih baik, apabila kita tetap menggantungkan cita-cita di atap eternit kost.
Cita-cita itu akan selalu kita lihat pertama kali saat pagi membuka mata, menjadi penyemangat kita menjalani rutinitas hari, dan Cita-cita itu kembali kita baca saat kita hendak menutup hari, untuk terbawa mimpi tidur kita!

Dan perjalanan pun kembali ditutup di Cemoro Sewu, setelah sebelumnya kami tertidur hampir satu jam di lapangan rumput kaki Gunung Lawu.
Toni memutuskan langsung mengambil jalan Magetan-Madiun tanpa kembali lewat Solo,
Saya dan Muchtar menuju Solo, menuju rumah masing-masing, berpisah setelah sebelumnya mampir di salah satu Angkringan Kota Karanganyar.

Tinggal lelah yang menggelayut bersama bahagia dan kepuasan,

Toni dan Muchtar tetap bisa merayakan Idul Adha di tengah kehangatan keluarga,
Sementara saya ikut merayakannya bersama keluarga tercinta saya.






So, what next?

Kemana lagi dan kapan lagi kita berpetualang bersama??

tridente, Toni, Nowo, Muchtar


Judul Lawu Calling diatas menjiplak salah satu lagu The Clash berjudul " London Calling"










ditulis disaat seharusnya sedang menuju puncak Gunung Guntur,
ditulis disaat semarak sepi Galungan-Kuningan 2013.

2 komentar: