Jumat, 27 Mei 2011

Remember "sabtu wage may 2006"

duaaaaar, gelegar keras membangunkanku di sabtu pagi 27 Mei 2006, kurang lebih begitu suara yang saya dengar 5 tahun yang lalu, entah suara itu bersumber dari gunung meletus atau dari rumah yang ambruk, yang dapat saya pastikan hanyalah  debu tebal yang menutupi pemandangan ratanya kampung halamanku. 5 tahun sudah bencana gempa bumi DIY-Jateng berlalu, banyak cerita tentunya yang masih menempel di memori para korbannya, sebuah tragedi yang banyak merubah nasib orang-orang pedesaan di selatan provinsi Jawa Tengah dan sebagian besar Provinsi DIY.
Tentu saja saat ini keadaan sudah mulai pulih dan stabil kembali, pembangunan dan berbagai macam program pemulihan seperti dipacu cepat untuk mengembalikan keadaan seperti masa pra-gempa. benarkah keadaan sudah mulai kembali seperti dulu kala? bukan kapasitas saya untuk menjawab itu tentunya, bukan peran saya juga untuk memwartakan banyaknya kontroversi selama era pemulihan.
Tepat 5 tahun lalu saya membuktikan sendiri bahwa memang kita tak sepenuhnya berkuasa atas diri kita, ada suatu hal besar di luar kita yang menggerakan kita (red: Gusti), dalam hitungan detik dari keadaan setengah sadar dari bangun tidur di kamar secara reflek saya sudah sampai di halaman rumah karena goncangan keras (rumah rata sampai pondasi, teras rumah rubuh tepat di dekat posisi saya berdiri). ketika saya membuka mata lebar betapa turut runtuh hati ini melihat sekitar hanya horizon yang penuh kepulan depu yang membatasi penglihatanku, tak ada lagi rumah berdiri, dan tak ada lagi pagar pembatas pekarangan, apa yang barusan terjadi gumamku dalam hati,,
Spontan berbagai macam suara ikut menggema, bukan gempa susulan tapi teriakan menyebut nama Tuhan, tangisan, rintihan sampai sedu sedan bersatu jadi satu, moment sepersekian menit yang paling trenyuh dalam hidup saya. saya yakin saat seperti itu belum pernah dibayangkan sebelumnya akan mereka alami oleh semua penduduk di kampung saya, menjadi korban gempa bumi, ya memang bencana tidak mengenal permisi dan tidak mengenal seleksi para korbannya.
Melihat dan mengatasi kepanikan (ada isu tsunami), mengevakuasi mayat dari timbunan bangunan kemudian memakamkannya selayaknya, menyelamatkan para korban yang tak berdaya ke green zone, zona aman jauh dari sisa bangunan dan pohon (kami pikir gempa pun mampu merobohkan pohon). mencoba menenangkan para korban yang kehilangan anggota keluarga, kehilangan harta (misal: rumah baru jadi, mobil baru, dll), dan mencari bantuan darurat dari para kerabat luar kota, semua itu baru kali pertama saya alami dan saya bergumam bahwa ini semua nyata, nyata didepan mata saya ketika saya baru bangun tidur di awal liburan panjang saya, ini bukan mimpi buruk yang membangunkan tidur, ini nyata!!
Kesedian dan duka mendalam, trauma berlebihan terhadap goyangan dan getaran, kebingungan akan hari esok menggelayut di tenda pengungsian (kami mengungsi karena gempa susulan berkelanjutan hampir selama 1 minggu), semua itu semakin menambah suramnya 3 malam pertama di tenda pengungsian ditengah beberapa korban yang terluka dan anak-anak kecil (bayi) yang menangis tak menentu (hujan yang sangat deras, guntur yang menggelegar dan mati lampu menghiasi 3 malam kami di tenda pengungsian), "iki kiamat cilik" (kiamat kecil) kata para pengungsi.
entah berapa total nyawa yang terengkuh, entah cacat fisik apa yang melekat sampai sekarang, entah berapa kerugian material yang ditanggung (dikurangi dengan bantuan pemerintah tentunya, adakah yang untung?),entah duka apa yang membekas di setiap insan korban gempa bumi Diy Jateng 2006 ini, setahu saya (bahkan umum) bencana selalu meninggalkan kesedihan yang mendalam dan tak akan pernah diharapkan terjadi (lagi).
5 tahun sudah semua terjadi, semakin membuat kami paham dengan kredo selalu ada hikmah di balik sebuah musibah. memang tak seperti dulu (pra-gempa) keadaan kampung halamanku (banyak lokasi bermain yang menghilang), tapi tetap menawarkan kenyamanan dan keramahan khas yang selalu menjadi candu buat saya untuk pulang ke rumah. pasca gempa kami menggali lagi apa yang disebut Gotong royong membangun kembali apa yang dinamakan kekeluargaan dan kearifan lokal menyusun kembali apa yang dikenal dengan tepo seliro atau saling menghargai, dan yang pasti 5 tahun sudah tertanam kepada kami rasa berserah diri kepada Sang Pencipta.
5 tahun yang tak terlupakan juga bagi saya, perjalanan pendewasaan diri, letupan rindu keluarga, kehilangan 2 sahabat dekat, kehilangan beberapa tetangga yang sampai sekarang masih saya ingat bagaimana cerita mereka kehilangan nyawa, kisah klasik pendidikan saya (dari 1 tahun pengangguran tanpa kuliah, hingga akhirnya lulus D3), kisah persahabatan SMA yang memorable, rengkuhan kekeluargaan masyarakat kampung halaman.
nrimo yen di dum
ps: saya bersyukur tidak ada korban nyawa dari keluarga saya akibat bencana ini. terima kasih terspesial buat dua adik saya, kalian berdua memang dikirim Tuhan tidak hanya untuk menghiasi hidup saya tetapi juga menyelamatkan hidup saya. terima kasih buat semua orang yang selama ini telah menguatkan saya.
Dan terima kasih kepada Ida Sang Yang Widhi Wasa untuk semuanya yang telah terjadi dan akan terjadi.

gambar di ambil dari my.opera.com/kristianto.

2 komentar:

  1. super sekali mas janu,,,
    tambah lagi mas tulisannya
    misi blogroll yah mas www.sutrisnorico.wordpress.com
    :D
    Mari Menulis, (maafin saya belum pernah nulis di kang jangkung dan neng mia,haha)

    BalasHapus
  2. makasih mas Rico, sudah liat-liat kemarin mas, bagus mas, ayo ditambahin, sama-sama belajar,
    wkwkwkwk kalau soal itu saya tunggu tulisan anda di kang jangkung,

    BalasHapus