Rabu, 01 Februari 2012

Bookmarks

.........................................................................................


"Sekarang aku mengerti mengapa hidupmu begitu tidak berbahagia, Nak. kesalahanmu sendiri, tingkahmu sendiri, didikan Belanda sudah lupakan asal. Kau tidak senang dalam pakaianmu itu, Kau tidak senang pada Ibumu karena dia bukan Belanda."


"Kau tidak senang air yang kau minum dan nasi yang kau makan."


"Barangkali kau pun tidak suka pada kelahiranmu sendiri?"


"Asal kau tahu, itu kau yang kuhadapi sekarang. Sekarang ini. Asal kau tahu, itu yang membikin kau jadi anakku yang sengsara seperti ini. Ah anakku, kan sudah berkali-kali kukatakan: belajarlah berterima kasih, belajarlah bersyukur, anakku. Kau, kau, berlatihlah mulai sekarang, Nak, berterimakasihlah, bersyukur pada segala apa yang ada padamu, yang kau dapatkan dan kau dapat berikan. Impian takkan habis-habisnya. Belajarlah berterima kasih, bersyukur, sedang kiamat masih jauh."


"Kalau kau sudah mendengar semua kataku, bangunlah. kalau tidak, tetaplah bersujud di bawah kakiku, biar aku ulangi." Bangunlah


"Engkau sudah mulai berkumis....."
.................................................................

"Seorang ibu selalu mengampuni anaknya, biarpun anak itu seperti kau, yang baru pandai membangun kesengsaraan untuk dirinya sendiri. Aku datang karena terpanggil oleh kesengsaraanmu, Nak. Surat-suratku tak ada yang kau balas selama ini................................"


"Kau selalu kuampuni, tanpa kau pinta pun, Nak. Kau selamanya membutuhkan ampun."


"Apakah kau kira aku tak mengenal anak-anakku? Aku kenal kau sejak dalam kandungan. Aku kenal suaramu sejak tangismu yang pertama, tanpa menerima suratmu, tanpa melihat wajahmu, dari tempat jauh, hati seorang ibu sudah dapat meraba, Nak. Batapa banyak yang telah kau deritakan untuk menjadi apa yang kau kehendaki sendiri. Bahkan membagi penderitaan pun pada Bundamu ini kau enggan. Orang eropa memang mau pikul sendiri dirinya sendiri. Apa itu perlu, sedang kau masih mempunyai seorang Bunda?"


"Kau sudah dijalari penyakit eropa, Nak, penyakit untuk mendapatkan segala-galanya buat dirinya sendiri seperti ceritamu sendiri."
"Itu penyakit eropa. Kan lebih baik kau belajar mengingat orang lain juga? Kau sudah kukatakan, belajarlah bersyukur, berterima kasih? jangan, jangan bicara dulu. Dulu kau sendiri pernah bercerita, buat eropa terima kasih adalah bunga bibir. Tak ada hati yang mengucapkan. Engkau telah jadi seperti itu, Nak. Aku takkan lupakan cerita-ceritamu itu, yang pandai ingin lebih pandai, yang kaya berusaha lebih kaya. Tak ada yang berterima kasih dalam hati. Hidup diburu-buru untuk menjadi yang lebih. Kan dulu kau sendiri yang bercerita pada Bunda? Mereka semua orang yang menderita: keinginan, cita-cita sendiri, jadi raksana rajadiraja. Masih ingat?"
 .............................................................
".........setelah itu hendak jadi apa lagi?....... Betapa banyak yang hendak kau capai. Betapa banyak kesengsaraan yang kau undang buat membikin dirimu jadi lebih kuyu kehilangan kegembiraan. Mana lagi bakal tersisa buat orang lain, buat para Dewa dan Allah? Nenek moyangmu mengajar dan diajar sederhana. Guru-gurumu mengajar tentang ketidakterbatasan manusia seperti ceritamu sendiri. Nenek moyangmu sangat pandai berterimakasih, sekalipun tidak mengucapkan dengan bibirnya. Kau diajar mengucapkan entah berapa kali sehari, tapi hatimu bisu."

Betapa jauhnya dunia antara anak dan Ibu. Ini bukan jarak sejarah. Apa pula namanya?

"Hukuman, anakku, bagian setiap orang yang tidak dapat menempatkan diri secara tepat dalam tata kehidupan. Kalau bintang dia bintang beralih, kalau hutan dia hutan larangan, kalau batu dia batu ginjal, kalau gigi dia gigi gingsul. Ah, kau bosan mendengarkan kata-kata Bundamu. Beristirahatlah, kau beristirahat, dan nikmati istirahatmu."
 ............................................................................




setiap fase memang melelahkan,
bahkan dalam kebahagiaan pun melelahkan,
kesulitan moga tak pernah membuat lelah bertahan,
karena kita tahu ada Bunda yang selalu mendoakan,

buat Bunda tercinta, yang tak pernah lelah mendengar keluh kesah dan derai tawa anak yang dicinta,

#Jejak langkah page 74-86 (Minke dan Bunda terkasih)
Tak kuat hati ini menahan rindu untuk segera pulang,,
Bersimpuh dikaki Bunda,,

Maaf Bunda, ampuni hamba yang tak selalu pulang walau ada peluang,,
Maaf Bunda, ampuni hamba, yang jadi durhaka karena merasa bangga dengan apa yang ada,,
Mandiri bukan berarti hidup sendiri tanpa bantuan orang tua,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar